ARIP ZAENAL HIKMAT - STAI AL KARIMIYAH KAMPUS C KOTA BOGOR

Blog ini disediakan sebagai sarana untuk mendekatkan mahasiswa dengan pengajar STAI Al Karimiyah Kampus C Kota Bogor. Dengan harapan melalui blog ini staf pengajar dapat menyampaikan bahan kuliahnya yang dengan mudah dapat diakses oleh mahasiswa dan staf pengajar dapat menerima komentar tentang materi tersebut dari mahasiswa khususnya dan pembaca lain pada umumnya.

Senin, 08 Desember 2008

TUJUAN INSTRUKSIONAL

PENDAHULUAN
Untuk dapat menentukan tujuan pembelajaran yang diharapkan, pemahaman taksonomi tujuan atau hasil belajar menjadi sangat penting bagi seoarang guru. Dengan pemahaman ini guru akan dapat menentukan dengan lebih jelas dan tegas apakah tujuan intruksional pengajaran yang diasuhnya lebih bersifat kognitif, dan mengacu kepada tingkat intelektual tertentu, atau lebih bersifat afektif atau psikomotorik.
Perumusan tujuan instruksional yang jelas, terukur dan dapat diamati menjadi semakin penting untuk dapat menentukan apakah suatu proses belajar mengajar mencapai tujuan atau tidak. Menurut Atwi Suparman dalam buku Desain Instruksional, Tujuan instruksional dirumuskan menggunakan cara sebagai berikut :
  1. menyebutkan “pelaku/audience” dalam hal ini adalah siswa.
  2. menyebutkan kompetensi atau perilaku akhir yang diharapkan dapat dilakukan siswa dengan menggunakan kata kerja yang opersional.
Contoh :
  • Siswa dapat melafalkan huruf Hijaiah dengan benar
  • Siswa dapat menunjukkan contoh-contoh perilaku rendah hati
Dalam menentukan dan merumuskan tujuan instruksional, guru seringkali membatasi dirinya hanya menggunakan keterampilan atau kemampuan berfikir yang rendah, seperti kemampuan mengingat (recall). Contoh tujuan instruksional yang berorientasi pada ingatan ini misalnya “menyebutkan difinisi ......” dan semacamnya. Sedangkan kemampuan berfikir yang lebih tinggi, seperti “menjelaskan hubungan dan pengaruh ..... “ jarang digunakan.
Disamping itu, guru juga lebih banyak menggunakan tujuan yang bersifat kognitif atau psikomotorik dibandingkan yang bersifat afektif. Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut guru perlu memahami berbagai taksonomi tujuan untuk memperoleh wawasan yang lebih luas tentang tujuan instruksional.
Taksonomi tujuan instruksional diperlukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
perlu adanya kejelasan terminologi yang digunakan dalam tujuan instruksional sebab tujuan instruksional berfungsi untuk memberikan arah kepada proses belajar dan menentukan perilaku yang dianggap sebagai bukti hasil belajar.
sebagai alat yang akan membentu dosen dalam mendeskripsikan dan menyusun tes, teknik penilaian dan evaluasi.

Kawasan Tujuan Instruksional
Taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional ke dalam tiga kelompok, yaitu yang bersifat :
  1. Kognitif, tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan “berfikir”, mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu “mengingat”, sampai dengan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving) yang menuntut mahasiswa untuk memecahkan masalah tersebut. Sebagaimana disebutkan sebelumnya tujuan kognitif ini paling sering digunakan dalam proses instruksional.
  2. Afektif, tujuan afektif yang berhubungan dengan “perasaan”, “emosi”, “sistem nilai” dan “sikap hati (attitude)” yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu ”memperhatikan suatu fenomena” sampai dengan yang kompleks yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Dalam literatur tujuan afektif ini disebutkan sebagai : minat, sikap hati, sikap menghargai, sistem nilai, serta kecenderungan emosi.
  3. Psikomotor, tujuan psikomotor berorientasi kepada keterampilan motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan otot. Dalam literatur tujuan ini tidak banyak ditemukan penjelasannya, dan biasanya dihubungkan dengan “latihan menulis”, berbicara, berolahraga, serta pelajaran yang berhubungan keterampilan teknis.
PENJELASAN TEORITIS

1. Taksonomi Tujuan Kognitif Menurut Bloom
Taksonomi Bloom (1956) sangat terkenal di Indonesia, bahkan tampaknya yang paling terkenal dibandingkan dengan taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom mengelompokkan tujuan kognitif kedalam enam kategori. Keenam kategori ini mencakup kompetensi keterampilan intelektual yang sederhana (tingkat pengetahuan) sampai dengan yang paling kompleks (tingkat evaluasi).
Keenam kategori ini diasumsikan bersifat hierarkis, yang berarti tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level yang lebih rendah telah dikuasai.


PENGETAHUAN
* Mengingat
* Menghafal

PEMAHAMAN
* Menerjemahkan
* Menginterpretasikan
* Menyimpulkan

PENERAPAN
* Menggunakan konsep prinsip, dan prosedur untuk memecahkan masalah

ANALISIS
* Memecahkan konsep menjadi bagian-bagian
* Mencari hubungan antar bagian

SINTESIS
* Menggabungkan bagian-bagian menjadi satu kesatuan

EVALUASI
* Membandingkan nilai-nilai, ide-ide, metode dsb. dengan standar


2. Taksonomi Tujuan Psikomotor Menurut Harrow
Tujuan instruksional kawasan psikomotor dikembangkan oleh Harrow (1972). Taksonomi Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara hierarkis dalam lima tingkat, meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling kompleks.

NATURALISASI
* Melakukan gerak secara wajar dan efisien

PERANGKAIAN
* Merangkaikan berbagai gerakan secara berkesinmbungan

KETEPATAN
* Melakukan gerak dengan teliti dan benar

PENGGUNAAN
* Menggunakan konsep untuk melakukan gerak

PENIRUAN
* Menirukan gerak yang telah diamati


3. Taksonomi Tujuan Afektif Menurut Krathwohl, Bloom dan Masia.
Krathwohl, Bloom dan Masia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkahlaku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam 5 kelompok.

PENGAMALAN
• Internalisasi nilai-nilai men-jadi pola hidup

PENGORGANISASIAN
• Menghubung-kan nilai yang dipilih dengan sistem nilai yang ada
• Mengintegra- sikan nilai-nilai tersebut ke dalam hidupnya

PENGHARGAAN TERHADAP NILAI
• Menerima ni-lai-nilai, setia kepada nilai- nilai
• Memegang teguh nilai- nilai

PEMBERIAN RESPON
• Aktif hadir
• Berpartisipasi

PENGENALAN
• Ingin menerima
• Ingin menghadiri
• Sadar akan suatu situa- si, objek, fenomena


4. Integrasi Tujuan Kognitif dan Afektif dalam Pembelajaran
Sebagaimana disebutkan pada bagian pendahuluan, dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara unsur kognitif dan afektif dalam diri siswa. Sikap yang apriori terhadap suatu konsep atau prosedur kerja dapat menjadi hambatan bagi tercapainya tujuan kognitif. Sebaliknya, untuk mengubah suatu sikap atau mengadopsi suatu nilai, siswa juga memerlukan pemahaman yang sifatnya kognitif. Dalam proses pembelajaran tertentu aspek kognitif dan afektif merupakan dua sisi mata uang yang perlu ada.


Menilai Kebutuhan Peserta Didik (Needs assessment)

Tantangan Era Globalisasi Terhadap Pendidikan Agama Islam

Dunia yang memasuki era global, ditandai dengan hilangnya batas-batas antar ‎negara-negara yang memungkinkan segala informasi dari semua negara baik yang sesuai ‎dengan ideology negara Indonesia maupun tidak, semua dapat masuk tanpa filter, maka ‎banyak tantangan yang menghadang di depannya.


Tantangan pendidikan agama Islam di era ‎globalisasi ini berdasarkan data-data yang ada diantaranya adalah:

  1. manusia ‎dihadapkan pada persaingan di segala bidang yang amat tinggi.
  2. kemajuan ilmu ‎pengetahuan dan teknologi dapat menggeser nilai –nilai lama, maka timbul berbagai ‎faham dan ideologi baru ‎ .
  3. terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya ‎alam, akibatnya banyak bencana alam yang sangat mengancam kelangsungan kehidupan ‎manusia dan anak cucunya kelak.
  4. karena manusia yang cenderung hedonis, maka ‎marak terjadi pelanggaran serta kenakalan remaja apalagi orang tua, dari pergaulan bebas, ‎minuman keras, mengkosumsi narkoba, pelecehan seksual dan lain-lain.
  5. banyak orang ‎yang lari dari kenyataan akibat kalah dari persaingan, banyak yang mempercayai hal-hal ‎kurafat dan terjerumus dalam perangkap jin kafir dan iblis ‎.


Selanjutnya tantangan-tantangan di atas dapat dikelompokkan menjadi dua ‎kelompok tantangan pendidikan agama Islam di era global yaitu tantangan dampak ‎negative dari era globalisasi dan tantangan kesiapan persaingan dalam dunia global.
Dampak negatif era globalisasi bagi bangsa Indonesia sebetulnya menambah ‎beban yang cukup berat karena bangsa ini telah lama mengidap permasalahan besar yang ‎sampai kini belum kunjung pulih, bahkan semakin parah. Negara kita yang masih belum ‎kokoh berdiri, baru hampir 63 tahun merdeka yang sedang merangkak dalam ‎pembangunan, mau tidak mau harus siap memasuki dunia global.
Permasalahan besar yang telah lama menjangkit di negara kita antara lain ‎disintegrasi bangsa, tawuran antar suku dan kelompok, pembrontakan, kemiskinan, ‎kebodohan, pengangguran yang pontensi pada kejahatan ditambah adanya krisis moneter ‎tahun 1997 yang sampai kini berkepanjangan. Kondisi demikian memiliki implikasi ‎menurunnya mutu kehidupan masyarakat Indonesia secara umum.
Tantangan era globalisasi terhadap pendidikan agama Islam di antaranya, ‎krisis moral. Melalui tayangan acara-acara di media elektronik dan media massa lainnya, ‎yang menyuguhkan pergaulan bebas, sex bebas, konsumsi alkohol dan narkotika, ‎perselingkuhan, pornografi, kekerasan, liar dan lain-lain. Hal ini akan berimbas pada ‎perbuatan negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah, ‎penjambretan, pencopetan, penodongan, pembunuhan oleh pelajar, malas belajar dan ‎tidak punya integritas dan krisis akhlaq lainnya.‎
Yang ke-dua dampak negatif dari era globalisasi adalah krisis kepribadian. ‎Dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di suatu negara yang menyuguhkan ‎kemudahan, kenikmatan dan kemewahan akan menggoda kepribadian seseorang. Nilai ‎kejujuran, kesederhanaan, kesopanan, kepedulian sosial akan terkikis ‎. Untuk ini sangat ‎mutlak diperlukan bekal pendidikan agama, agar kelak dewasa akan tidak menjadi ‎manusia yang berkepribadian rendah, melakuan korupsi, kolusi dan nepotisme ‎, ‎melakukan kejahatan intelektual, merusak alam untuk kepentingan pribadi, menyerang ‎kelompok yang tidak sepaham, percaya perdukunan, menjadi budak setan dan lain-lain.‎
Faktor pendorong adanya tantangan di atas dikarenakan longgarnya pegangan ‎terhadap agama dengan mengedepankan ilmu pengetahuan, kurang efektifnya pembinaan ‎moral yang dilakukan oleh kepala rumah tangga yaitu dengan keteladanan dan ‎pembiasaan, derasnya arus informasi budaya negatif global diantaranya, hedonisme, ‎sekulerisme, purnografi dan lain-lain, tidak ada tindakan efektif dari pemerintah karena ‎sibuk memikirkan perebutan jabatan ‎.‎
Selain adanya hambatan akibat dampak negatif era global juga terdapat ‎tantangan pendidikan agama Islam untuk membekali generasi muda mempunyai kesiapan ‎dalam persaingan. Kesiapan itu Deliar Noer memberikan ilustrasi ciri-ciri manusia yang ‎hidup di jaman global adalah masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari ‎manusia modern dengan sifatnya yang rasional, berorientasi ke depan, terbuka, ‎menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif ‎ juga mampu bersaing serta menguasai ‎berbagai metode dalam memecahkan masalah ‎. ‎
Dengan demikian pendidikan agama Islam dituntut untuk mampu membekali ‎peserta didik moral, kepribadian, kualitas dan kedewasaan hidup guna menjalani ‎kehidupan bangsa yang multi cultural, yang sedang dilanda krisis ekonomi agar dapat ‎hidup damai dalam komunitas dunia di era globalisasi.‎

Analisa Kebutuhan Menejemen Pendidikan Agama Islam di Era Globalisasi dan ‎Aplikasinya

Pendidikan agama Islam diyakini menjadi pil mujarab untuk menghadapi ‎tantangan kehidupan era global generasi bangsa agar berenergi untuk kencang bersaing ‎sehat dalam keidupan global dan menjaga immunitas dari serangan dampak negative era ‎globaliasi. Sebagaimana Azra mengutip Murata dan Chittik dalam The Vision of Islam, ‎‎1994, bahwa obat utnuk mengatasi berbagai problem masyarakat, seperti kelaparan, ‎penyakit, penindasan, polusi dan berbagai penyakit social lainnya adalah to return to God ‎through religion ‎.
Namun seperti yang diungkapkan dimuka bahwa pendidikan agama Islam di ‎negara kita mengalami kegagalan, yang disebabkan karena beberapa factor di atas, untuk ‎itu perlu diadakan analisa kebutuhan guna mengetahui kesenjangan yang perlu dibenahi ‎dan merumuskan langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan agama Islam. ‎
Sebetulnya ada tiga pendekatan yang berbeda dalam mengidentifikasi ‎masalah-masalah pendidikan kaitannya dengan tuntutan zaman di antaranya adalah; ‎analisa kebutuhan, analisa tujuan dan analisa proses/ hasil/ pelaksanaan ‎. Namun disini ‎hanya akan menekankan pada analisa kebutuhan segi kurikulum.‎

a.‎ Teori Analisa Kebutuhan dalam Menejemen

Untuk menuju teori analisa kebutuhan khususnya dan teori analisa ‎kebutuhan pendidikan agama Islam pada umumnya perlu kiranya diawali dengan teori ‎kebutuhan manusia secara dasar. Maslow (1954) membagi kebutuhan manusia menjadi ‎dua kelompok utama, yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan tumbuh. ‎
Kebutuhan dasar sebagaimana namanya berada di bawah posisi ‎kebutuhan tumbuh. Kebutuhan dasar ini berturut-turut dari bawah ke atas adalah:

  1. kebutuhan fisiologis, seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dll;
  2. kebutuhan akan ‎rasa aman;
  3. kebutuhan untuk dicintai;
  4. kebutuhan untuk dihargai. Sedangkan ‎kebutuhan tumbuh, hirarkinya berada di sebelah atas posisi kebutuhan dasar, berturut-‎turut dari bawah ke atas:
  5. kebutuhan untuk mengetahui dan memahami (belajar);
  6. ‎kebutuhan keindahan;
  7. kebutuhan aktualisasi diri ‎. ‎


Kebutuhan yang berada di hierarki lebih tinggi baru akan dirasakan bila ‎kebutuhan yang ada di hierarki lebih bawah telah terpenuhi. Bila tidak terjadi ‎pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sesuai hirarki yang tergambar maka akan muncul ‎kesenjangan ‎Kesenjangan adalah sebuah permasalahan yang harus dipecahkan. Demikian ‎juga kesenjangan dalam pembelajaran, kesenjangan itu dijadikan suatu kebutuhan ‎dalam dunia pendidikan, sehingga pendidikan yang dilaksanakan merupakan solusi ‎terbaik. Bila kesenjangan tersebut ditemukan dan menimbulkan efek yang besar, maka ‎perlu diprioritaskan dalam pengatasan masalah.‎
Menurut M. Atwi Suparman kebutuhan adalah kesenjangan antara keadaan ‎sekarang dengan yang seharusnya ‎. Dalam redaksi yang berbeda tetapi sama intinya, ‎Morrison mengatakan bahwa kebutuhan (need) diartikan sebagai kesenjangan antara ‎apa yang diharapkan dengan kondisi yang sebenarnya. Keinginan adalah harapan ke ‎depan atau cita-cita yang terkait dengan pemecahan terhadap suatu masalah. ‎Sedangkan analisa kebutuhan adalah alat untuk mengidentifikasi masalah guna ‎menentukan tindakan yang tepat ‎.
Menurut Dr. Suharsimi Arikunto langkah-langkah analisa kebutuhan antara ‎lain : pertama, pengumpulan data, walau sederhana tapi sangat komplek. Kedua, ‎menciptakan iklim positif, Ketiga, rencana penilaian kebutuhan. Keempat, ‎melaksanakan penilaian kebutuhan. Kelima, peng-administrasian. Keenam, ‎menganalisis data yang terkumpul. Lalu memberikan tindak lanjut pada ‎pengembangan ‎.‎
Suharsimi menambahkan dengan mengutip langkah-langkah Finch dan Mc ‎Gough, (1982) yaitu apabila sumber data telah terkumpul maka digunakan altrenatif ‎alat atau instrument, yaitu: subjective self-report, objective self-report, interview, ‎observasi langsung, tes dan skala terstandar dengan rumus :‎
Obyek pengembangan (O) = kebutuhan (Kb) - kendala dana, waktu, rendahnya ‎moral dan lain-lain (Kd)‎
Hamalik menambahkan, analisa kebutuhan adalah bagian dari langkah ‎pendekatan system dalam sebuah menejemen. Pada mulanya pendekaan system ‎dipergunakan dalam bidang engineering untuk mendesain system-sistem elektronik, ‎mekanik dan militer ‎. ‎Oemar Hamalik merumuskan langkah-langkah konsep analisa kebutuhan ‎yang juga dapat diaplikasikan dalam peningkatan mutu pendidikan dalam sekolah ‎dengan rumus :
‎Kebutuhan total (K.tot) – kebutuhan yang terpenuhi ( K.tp) = kebutuhan yang ‎tidak terpenuhi (K.ttp)‎ ‎.‎

b.‎ Analisa Kebutuhan dalam Menejemen Pendidikan Agama Islam di Sekolah ‎Formal

Masih ada kesenjangan pendidikan agama Islam di sekolah formal selama ‎ini dengan kondisi yang seharusnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan beberapa ‎indikator. Sebagaimana Husni Rahim menyebutkan indikasi itu di antaranya,

  1. masih banyak anak yang telah belajar agama selama 12 tahun, tetapi umumnya tidak ‎mampu membaca al Qur’an dengan baik,
  2. tidak menjalankan ibadah dengan baik ‎dan tidak berakhlaq mulia ( tawuran, penyalah gunaan obat, minuman keras, ‎pergaulan bebas dan tindak asusila),
  3. meluasnya KKN (Korupsi, Kolusi dan ‎Nepotisme) yang disebabkan karena manusia bersifat konsumtif, karena gagal dalam ‎belajar agama sehingga mudah tergoda untuk berbuat tidak baik.‎ ‎ ‎


Mengapa hal ini bisa terjadi, Rahim memberikan gambaran factor-faktor ‎penyebabnya diantaranya adalah; materi pendidikan agama Islam terlalu akademis, ‎terlalu banyak topic, banyak pengulangan yang tidak perlu, tidak memperhatikan ‎aspek afektif karena hanya mementingkan aspek kognitif dan metode pengajaran Al ‎Qur’an tidak tepat.‎
Hal ini diperjelas dengan pernyataan Muhaimin bahwa kegagalan ‎pendidikan agama setidaknya disebabkan karena mengalami kekurangan dalam dua ‎aspek mendasar, yaitu; (a) pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal yang bersifat ‎simbolik, ritualistic serta bersifat legal formalistic (halal-haram) dan kehilangan ruh ‎moralnya, (b) kegiatan pendidikan agama cenderung bertumpu pada penggarapan ‎ranah kognitif dengan menyampingkan ranah psikomotorik dan afektif ‎.‎
Muhaimin menambahkan bahwa; misalnya materi pendidikan agama Islam ‎di tingkat dasar bersifat serakah, yakni segala macam topic atau sub-sub pokok ‎bahasan yang sebenarnya menjadi bagian dari pokok-pokok pembahasan non PAI serta ‎menjadi tugas dan tanggung jawab guru non-PAI harus termuat dalam pelajaran PAI. ‎Materi PAI yang sebetulnya belum waktunya diberikan pada tingkat dasar misalnya ‎haji, zakat mal, sewa, waqaf dan lain-lain diberikan yang akhirnya menjebak guru PAI ‎pada transfer ilmu pengetahuan atau ranah kognitif belaka ‎.‎
Hal ini disebabkan juga karena masih terdapat problematika pengajaran ‎agama Islam baik secara makro maupun mikro. Problematika makro di sini adalah ‎kendala-kendala yang ada hubunganya dengan masalah di luar sekolah menyangkut ‎kebijakan pemerintah mengenai pendidikan nasional. Sedangkan problematika ‎mikronya adalah menyangkut strategi pembelajaran dan kebijakan dari pimpinan ‎sekolah. ‎
Sekolah melalui pendidikan agama mestinya dapat menghantarkan para ‎peserta didik untuk menjadi sumber daya manusia yang unggul dalam persaingan ‎hidup di jaman global. Keunggulan sumber daya manusia itu mencakup aspek moral ‎dan ketaqwaan di samping memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, ‎keterampilan. Karakter lainnya yang dibutuhkan adalah keuletan, keberanian, dan ‎semangat kebangsaan.
Untuk memenuhi hal di atas maka perlu diadakan kegiatan berupa ‎pengembangan materi pelajaran yang bermuatan keimanan dan ketaqwaan (imtaq) dan ‎ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Upaya penyusunan bahan ajar yang ‎bermuatan imtaq dan iptek untuk TK & RA, SD & MI, SLTP & MTs, dan SMU & ‎MA (TK & RA – 12) diharapkan dapat dijadikan model bagi guru dan pelaksana ‎pendidikan di lapangan untuk menghasilkan manusia Indonesia yang unggul dan utuh ‎belum sepenuhnya berjalan dengan baik ‎.
Belajar dari pengalaman negara-negara lain dalam menangani tantangan dan ‎krisis serupa, di sana membutuhkan sumber daya manusia yang unggul. Juga belajar ‎dari sejarah masa lalu, bahwa kemajuan yang pernah dicapai oleh para pendahulu kita ‎karena adanya sikap yang mau berubah. Meneladani sikap progresivitas yang ‎ditunjukkan nabi Muhammad dalam mendidik kaumnya dari jahiliyyah menuju ‎masyarakat yang beradab dan maju. Allah juga telah memerintahkan dalam Al qur’an : ‎‎“Dia tidak akan merubah nasib suatu bangsa, sebelum bangsa tersebut mau merubah ‎dirinya sendiri”‎
Selanjutnya Husni Rahim merumuskan factor-faktor kegagalan pendidikan ‎Islam di Indonesia yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor Internal : ‎rendahnya SDM ( pemimpin sekolah, pengelola administrasi dan keuangan, ‎pustakawan,guru, tenaga bimbingan dan penyuluhan, pengawas, komite sekolah), ‎dikarenakan masih lemahnya program pendidikan dan pembinaan tenaga kependidikan ‎dan rekrutmen tenaga yang kurang selektif. Faktor Eksternal : Globalisasi, ‎demokratisasi dan liberalisasi Islam ‎.‎

Melihat permasalahan di atas maka pengelompokan analisa ‎kebutuhan, dapat dilihat secara mikro dan makro dengan penjelasan sebagai berikut ;‎

  1. Analisa kebutuhan mikro, Menurut Nur Fathoni mengutip I.N Sudana Degeng bahwa analisa kebutuhan ‎dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai berikut :‎
    Kebutuhan kondisi pembelajaran yang meliputi tujuan,v kendala-kendala ( ‎keterbatasan materi, keterbatasan waktu, keterbatasan media, keterbatasan ‎personalia, dan keterbatasan dana), juga karakteristik peserta didik.‎
    Kebutuhan strategi pembelajaran yang meliputi : strategiv pengorganisasian , ‎penyampaian pelajaran dan pengelolaan.‎
    Kebutuhan hasilv pembelajaran yang meliputi : efektifitas, efisiensi dan daya ‎tarik ‎. ‎‎
  2. Analisa kebutuhan makro, Kesenjangan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam pendidikan Agama Islam ‎dalam kontek pendidikan secara makro di Indonesia yaitu : ‎
    Budgeting dalam system pendidikan nasional, Permasalahan mengenaiv ‎budgeting adalah masalah yang cukup pelik dan dilematis. Inilah masalah ‎utama yang menjadi rintangan dalam pelaksanaan pendidikan yang maju, adil ‎dan merata ‎.‎
    Dikotomi lembaga pendidikan nasional. Banyak pakar pendidikan menilaiv ‎bahwa dikotomi lembaga pengelola pendidikan yang terbagi dalam ‎Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menjadi awal ‎permasalahan pendidikan yang ada dalam penyampaian materi pendidikan ‎keagamaan. Hal inilah yang menghambat proses internalisasi pemahaman nilai-‎nilai keagamaan yang termaktub dalam pendidikan agama.‎
    Sarana dan prasarana pendidikan yang belumv mendukung mengakibatkan ‎banyaknya hambatan yang terjadi pada proses penyampaian, pemahaman dan ‎penyerapan nilai-nilai moral keagamaan.‎

c.‎ Upaya Pendidikan Agama Islam Mengatasi Tantangan di Era Global


Secara garis besar aplikasi konsep analisa kebutuhan peningkatan mutu ‎pendidikan agama Islam di sekolah formal dalam menghadapi era globalisasi dalam ‎kaitannya dengan persaingan di segala bidang yang amat tinggi dan pengaruh dampak ‎negative era globalisasi diperlukan aplikasi analisa kebutuhan secara mikro dan makro.‎
Namun di sini penulis hanya merumuskan aplikasi analisa kebutuhan secara ‎mikro karena aplikasi analisa kebutuhan secara makro cakupannya sangat luas seiring ‎dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Analisa secara mikro di sini adalah; ‎


a.‎ Strategi Pembelajaran
Tujuan pembelajaran agama Islam yang harus dirumuskan dengan bentuk ‎behavioral atau berbentuk tingkah laku dan juga measurable atau bisa diukur. Hal ‎ini membutuhkan strategi pembalajaran yang khusus. ‎
Strategi disini adalah suatu kondisi yang diciptakan oleh guru dengan ‎sengaja yang meliputi metode, materi, sarana prasarana, materi, media dan lain ‎sebagainya agar siswa dipermudah dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ‎ditetapkan. ‎

b.‎ Metode Pembelajaran Agama Islam.‎
Pendidikan agama Islam sebenarnya tidak hanya cukup dilakukan ‎dengan pendekatan teknologik karena aspek yang dicapai tidak cukup kognitif ‎tetapi justru lebih dominan yang afektif dan psikomotorik, maka perlu pendekatan ‎yang bersifat nonteknologik. Pembelajaran tentang akidah dan akhlak lebih ‎menonjolkan aspek nilai, baik ketuhanan maupun kemanusiaan yang hendak ‎ditanamkan dan dikembangkan pada diri siswa sehingga dapat melekat menjadi ‎sebuah kepribadian yang mulia.
Sehingga menurut Noeng Muhajir ada beberapa strategi yang bisa ‎digunakan dalam pembelajaran nilai yaitu : tradisional maksudnya dengan ‎memberikan nasehat dan indoktrinasi, bebas maksudnya siswa diberi kebebasan ‎nilai yang disampaikan, reflektif maksudnya mondar-mandir dari pendekatan ‎teoritik ke empiric, transiternal maksudnya guru dan siswa sama-sama terlibat ‎dalam proses komunikasi aktif tidak hanya verbal dan fisik tetapi juga melibatkan ‎komunikasi batin ‎.‎

c.‎ Materi Pembelajaran Agama Islam.‎
Disamping perlu adanya reformulasi materi-materi PAI yang selama ini ‎menjebak pada ranah kognitif dengan mengabaikan ranak psikomotorik dan ‎afektif, materi PAI dipandang masih jauh dari pendekatan pendidikan multi ‎cultural, akibatnya masih banyak kerusuhan yang dipicu dari masalah SARA. ‎
Untuk itu materi pendidikan agama hendaknya merupakan sarana yang ‎efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. ‎Selain itu, pada masalah-masalah syari’ah pendidikan agama Islam selama ini ‎mencetak umat Islam yang selalu bertengkar antar pengikut madzhab. ‎
Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu memberikan pelajaran “fiqih ‎muqarran” untuk memberikan penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam Islam ‎dan semua pendapat itu sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita untuk ‎menghormati. Sekolah tidak menentukan salah satu mazhab yang harus diikuti ‎oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah kepada mereka masing-masing ‎.‎

d.‎ Sumber Daya Guru Agama
Pada saat ini ada kecenderungan untuk menunjuk guru sebagai salah satu ‎factor penyebab minimnya kualitas lulusan siswa. Kritikan mulai dari ketidak ‎efektifnya guru dalam menjalankan tugas, kurangnya motivasi dan etos kerja, ‎sampai kepada ketidak mampuan guru dalam mendidik dan mengajar kepada ‎anak didiknya.‎
Untuk meningkatkan motivasi dan etos kerja guru maka factor ‎pemenuhan kebutuhan sangat berpengaruh. Untuk itu bagaimana mengarahkan ‎kekuatan yang ada dalam diri guru untuk mau melakukan tingkat upaya yang ‎tinggi ke arah tujuan yang telah ditetapkan.‎
Berbicara tentang motivasi tidak lepas kaitannya dengan beberapa ‎pandangan tentang terbentuknya kepribadian manusia melalui proses pola awal ‎terbentuknya motivasi dan beberapa teori kebutuhan manusia. Suparmin mengutip ‎Mc.Cleland yang mengelompokkan kebutuhan manusia kaitannya dengan ‎peningkatan motivasi dalam tugasnya sebagai guru adalah; need for achievement/ ‎kebutuhan untuk berprestasi, need for power/ kebutuhan untuk berkuasa, need for ‎affiliation/ kebutuhan untuk berafiliasi ‎.
Bila ketiga kebutuhan terpenuhi maka ‎motivasi dan etos kerja seorang guru akan tumbuh dan berkembang sebagimana ‎yang diharapkan.‎
Dengan motivasi dan etos kerja yang tinggi guru agama akhirnya menjadi ‎penggerak penjiwaan dan pengalaman agama yang mencerminkan pribadi yang ‎taqwa, berakhlaq mulia, luhur dan menempati perananan suci dalam mengelola ‎kegiatan pembelajaran, maka dibutuhkan guru yang dirumuskan Zakiyah Darajat ‎ ‎dan Husni Rahim ‎ sebagai berikut : mencintai jabatannya, bersikap adil, sabar ‎tenang, menguasai metode dan kepemimpinan, berwibawa, gembira, manusiawi ‎dan dapat bekerja sama dengan masyarakat.
Dan tentunya juga dibantu guru bidang studi lain dengan menunjukkan ‎keteladanan bagi siswa sebagai seorang yang beragama yang baik. Apalagi iman ‎dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan prasyarat utama bagi ‎setiap guru, yang secara praktis akan berimplikasi pada keharusan setiap guru ‎untuk mengimplementsikan nilai-nilai akhlak yang mulia dalam setiap pelajaran.‎
Menurut Muhaimin bila ada peserta didik yang terlibat narkoba misalnya, ‎maka hal itu bukan merupakan kegagalan guru PAI saja, tetapi juga merupakan ‎kegagalan dari guru IPA, IPS dan PPKn. Bila ada siswa yang suka hidup boros, ‎itu juga kegagalan guru matematika dan ekonomi dan bila siswa suka merusak ‎lingkungan itu termasuk kegagalan guru IPA dan seterusnya ‎. ‎

e.‎ Fasilitas dan Media Pengajaran
Salah satu factor yang dibutuhkan dalam peningkatan mutu pendidikan ‎agama Islam di sekolah formal saat ini adalah : tempat ibadah (masjid atau ‎musholla), ruang bimbingan dan penyuluhan agama, laboratorium keagamaan dan ‎computer berbasis internet ‎. ‎
Laboratorium tidak hanya dibutuhkan untuk pembelajaran ilmu bahasa ‎dan ilmu eksakta saja, tetapi semua materi pelajaran juga membutuhkan ‎laboratorium termsuk pelajaran agama Islam. Di dalam laboratorium akan ‎dilengkapi media-media pembelajaran.
Media pembelajaran yang bersifat audio visual sangat penting untuk ‎tercapainya tujuan pembelajaran, karena media pembelajaran ini berfungsi untuk ‎memberikan pengalaman konkret kepada siswa. Bila guru menyampaikan materi ‎agama dengan bermain kata-kata saja maka materi itu bersifat abstrak sama ketika ‎guru-guru di Eropa mengajar bahasa Latin pada abad 17‎ ‎. ‎
Muhaimin mengusulkan lima cara yang dijadikan dasar pertimbangan ‎dalam pemilihan sarana/ media pembelajaran PAI yaitu ; (1) tingkat kecermatan ‎representasi, (2) tingkat interaktif yang ditimbulkan, (3) tingkat kemampuan ‎khusus, (4) tingkat motivasi yang ditimbulkan, (5) tingkat biaya yang ‎diperlukan ‎. ‎

f.‎ Instrumen Penunjang
Mengingat pendidikan agama Islam adalah pendidikan yang universal ‎maka, dibutuhkan instrument penunjang antara lain : school culture, extra ‎kurikuler keagamaan, tim penggerak proses pendidikan keagamaan ( kepala ‎sekolah, dewan, guru, karyawan, komite, masyarakat sekitar, LSM dan alumni)‎ ‎.‎

‎3.‎ Langkah-Langkah Strategis Menejemen Pendidikan Agama Islam di Era ‎Globalisasi

Memperhatikan tuntutan era globalisasi di atas pendidikan agama Islam di ‎madrasah dan sekolah-sekolah umum dilaksanakan dengan beberapa strategi di ‎antaranya : pertama penyempurnaan kurikulum pendidikan agama agar materi ‎pelajarannya mencapai komposisi yang proporsional dan fungsional tetapi tidak ‎membebani siswa. Kedua, memadukan materi agama dengan materi pendidikan budi ‎pekerti misalnya PPKn atau pelajaran lainya yang terkait hal ini juga dapat mengikis ‎dikotomi ilmu. Ketiga, menciptakan kondisi agamis di lingkungan sekolah.‎
Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan strategis lainnya ‎antara lain :

  1. mengidentifikasi isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat ‎untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan ‎metode klarifikasi nilai
  2. mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam ‎pembelajaran pendidikan moral agar tercapai moral yang komprehensif yaitu kematangan ‎dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral,
  3. mengidentifikasi dan ‎menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para ‎guru di sekolah dan para orang tua murid di rumah dalam usaha membina perkembangan ‎moral siswa, serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya,
  4. ‎mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat ‎digunakan sebagai bahan kajain dalam proses pendidikan moral,
  5. mengidentifikasi ‎sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral. Terkait ‎dengan pelajaran budi pekerti ini,sebenarnya telah banyak pelajaran yang diajarkan di ‎sekolah yang menitik beratkan pada etika moral dan adab yang santun seperti pendidikan ‎Agama, PPKn dan BK (Bimbingan Konseling)‎ ‎. ‎

Selanjutnya pengajaran agama Islam diajarkan sebagai perangkat system yang ‎satu sama lain saling terkait dan mendukung yang mencakup : guru agama yang layak dan ‎cocok tidak under qualified, tidak mismatch ‎, adanya kerja sama dengan guru mata ‎pelajaran lain, profesionalitas pimpinan sekolah, kurikulum yang baik , metode yang tepat ‎di antaranya metode praktek/ role playing , materi pembiasaan, sholat dzuhur berjamaah, ‎kelengkapan sarana dan masjid dan kerjasama orang tua tokoh formal, aparat ‎pemerintah.‎
Selanjutnya Husni Rahim mengajak pelaku pendidikan agama Islam di sekolah ‎formal untuk mempertegas visi pendidikan Islam dengan cakupan bahwa visi itu sebagai ‎berikut :

Karakter Islami yaitu

  1. orientasi holistic artinya kesadaran sebagai pribadi ‎muslim di segala situasi dan kondisi terutama di sekolah, dengan menempatkan nilai-nilai ‎spiritual dan transedental dalam pencapaian tujuan pendidikan strategi pembelajaran yang ‎tidak verbalistik sehingga mudah dikembangkan ketrampilan dan wawasannya secara ‎terpadu,
  2. populis yaitu Sekolah/ madrasah dilaksanakan dengan semangat yang ‎merakyat, karena manusia membutuhkan persaudaraan, saling kasih dan semangat ‎memberdayakan kaum tertindas berorientasi mutu yaitu dalam dua tataran : proses dan ‎hasil pendidikan ‎. ‎Selanjutnya Rahim menjelaskan proses tersebut dalam suasana pembelajaran ‎yang aktif dan dinamis serta konsisiten dengan program dan target pembelajaran. Adapun ‎hasilnya adalah output yang berkualitas dalam kognitif, afektif dan psikomotorik dan ‎pluralis pada lembaga pendidikan Islam yang harus tercermin dalam kurikulum dan proses ‎pendidikan ‎ guna mewujudkan cita-cita umat Islam Indonesia menjadi ulama yang ‎cendikia atau cendikia yang ulama.‎

Ruang Lingkup Materi Pendidikan Islam

Proses tarbiyah (pendidikan) mempunyai tujuan untuk melahirkan suatu generasi baru dengan segala crri-cirinya yang unggul dan beradab. Penciptaan generasi ini dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan yang sepenuhnya dan seutuhnya kepada Allah SWT melalui proses tarbiyah. Melalui proses tarbiyah inilah, Allah SWT telah menampilkan peribadi muslim yang merupakan uswah dan qudwah melalui Muhammad SAW. Peribadinya merupakan manifestasi dan jelmaan dari segala nilai dan norma ajaran Al-Quran dan sunah Rasulullah Asyyahid Sayyid Qutb telah merumuskan tiga faktor pendidikan bagi anak. Pertama, Al-Quran sebagai sumber pembentukan yang satu-satunya. Natijah dari keaslian sumber ini ialah lahirnya generasi yang serba murni hati, akal, tasawwuf dan perasaan yang ikhlas. Kedua, membaca dan mempelajari Al-Quran dengan maksud untuk melaksanakan perintah Allah dengan serta merta sebaik sahaja didengar dan difahami. Dan ketiga, pengislaman yang sama sekali mengakhiri kejahilan silam dan memisahkan dari kejahilan sekitarnya.Lingkup materi pendidikan Islam secara lengkap dikemukakan oleh Heri Jauhari Muchtar dalam bukunya “Fikih Pendidikan”, bahwa pendidikan Islam melingkupi:
  1. Pendidikan keimanan (Tarbiyatul imaniyah),
  2. Pendidikan keimanan (Tarbiyatul imaniyah),
  3. Pendidikan moral/akhlak ((Tarbiyatul khuluqiyah),
  4. Pendidikan jasmani (Tarbiyatul jasmaniyah),
  5. Pendidikan rasio (Tarbiyatul aqliyah),
  6. Pendidikan kejiwaan/hati nurani (Tarbiyatulnafsiyah),
  7. Pendidikan sosial/kemasyarakatan (Tarbiyatul ijtimaiyah), dan
  8. Pendidikan seksual (Tarbiyatul Syahwaniyah)

kedelapan ruang lingkup materi pendidikan Islam di atas yang akan saya uraikan dalam tulisan ini manjadi 3 materi pokok pembahasan yang terkandung dalam;

  1. Tarbiyah Aqliyah (IQ learning),
  2. Tarbiyyah Jismiyah (Physical learning), dan
  3. Tarbiyatul Khuluqiyyah (SQ learning).

Pertama, adalah Tarbiyah Aqliyah (IQ learning). Tarbiyah aqliyah atau sering dikenal dengan istilah pendidikan rasional (intellegence question learning) merupakan pendidikan yang mengedapan kecerdasan akal. Tujuan yang diinginkan dalam pendidikan itu adalah bagaimana mendorong anak agar bisa berfikir secara logis terhadap apa yang dlihat dan diindra oleh mereka. Input, proses, dan output pendidikan anak diorientasikan pada rasio (intellegence oriented), yakni bagaimana anak dapat membuat analisis, penalaran, dan bahkan sintesis untuk menjustifikasi suatu masalah. Misalnya melatih indra untuk membedakan hal yang di amati, mengamati terhadap hakikat apa yang di amati, mendorong anak bercita cita dalam menemukan suatu yang berguna, dan melatih anak untuk memberikan bukti terhadap apa yang mereka simpulkan.

Kedua, Tarbiyyah Jismiyah (Physical learning). Yaitu segala kegiatan yang bersifat fisik untuk mengembangkan biologis anak tingkat daya tubuh sehingga mampu untuk melaksanakan tuigas yang di berikan padanya baik secara indifidu ataupun sosial nantinya , dengan keyakinan bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat “al-aqlussalim fi jismissaslim“ sehingga banyak di berikan beberapa permainan oleh mereka dalam jenis pendidikan ini.

Dan ketiga, Tarbiyatul Khuluqiyyah (SQ learning) Makna tarbiyah khuluqiyyah disini di artikan sebagai konsistensi seseorang bagaimana memegang nilai kebaikan dalam situasi dan kondisi apapun dia berada seperti; kejujuran, keihlasan, mengalah, senang bekerja dan berkarya, kebersihan, keberanian dalam membela yang benar, bersandar pada diri tidak pada orang lain, dan begitu juga bagaimana tata cara hidup berbangsa dan bernegara.Oleh sebab itu maka pendidikan ahlak tidak dapat di jalankan dengan hanya menghapalkan saja tentang hal baik dan buruk, tapi bagaimana menjalankannya sesuai dengan nilai nilainya. Ada beberapa bagian dalam hal ini antara lain:

  1. mengumpulkan mereka dalam satu kelompok yang berbeda karakter,
  2. membantu mereka untuk menemukan jati dirinya dengan memberikan pelatihan, ujian, dan tempaaan,
  3. membentuk kepribadian/mendoktrin dengan selalu menjahui hal yang jelek dan berpegang teguh terhadap nilai kebaikan

PERENCANAAN PENGAJARAN PAI

Fungsi, Peranan dan Jenis Media Pembelajaran

  1. Pembelajaran sebagai suatu sistem yang bertujuan yang harus direncanakan oleh guru berdasarkan pada kurikulum yang berlaku.
  2. Perencanaan pengajaran mencakup kegiatan merumuskan tujuan pembelajaran, merumuskan isi/materi pelajaran yang harus dipelajari, merumuskan kegiatan belajar dan merumuskan sumber belajar/media pembelajaran yang akan digunakan serta merumuskan evaluasi belajar.
  3. Fungsi perencanaan pengajaran sebagai pedoman kegiatan guru dalam mengajar dan pedoman siswa dalam kegiatan belajar yang disusun secara sistematis dan sistemik.
  4. Prinsip perencanaan pengajaran yang harus diperhatikan adalah :
    1. Perencanaan pengajaran harus berdasarkan kondisi siswa.
    2. Perencanaan pengajaran harus berdasarkan kurikulum yang berlaku.
    3. Perencanaan harus memperhitungkan waktu yang tersedia
    4. Perencanaan pengajaran harus merupakan urutan kegiatan belajar-mengajar yang sistematis.
    5. Perencanaan pengajaran bila perlu lengkapi dengan lembaran kerja/tugas dan atau lembar observasi.
    6. Perencanaan pengajaran harus bersifat fleksibel.
    7. Perencanaan pengajaran harus berdasarkan pada pendekatan sistem yang mengutamakan keterpaduan antara tujuan, materi, kegiatan belajar dan evaluasi.
    5. Perencanaan merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen Tujuan pembelajaran, komponen isi/materi pembelajaran, komponen kegiatan belajar-mengajar, dan komponen evaluasi belajar.
    Prosedur Pengembangan Program Pembelajaran
    1. Program pengajaran di sekolah dilaksanakan dalam jangka waktu belajar tertentu. Program pengajaran yang menjadi tugas guru yaitu menyusun program pengajaran catur wulanan dan program mingguan atau harian, yang disebut program persiapan mengajar.
    2. Program semester adalah program pengajaran yang harus dicapai selama satu semester, selama periode ini diharapkan para siswa menguasai pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai satu kesatuan utuh.
    3. Program semester dijabarkan dari Garis-garis besar Program Pengajaran pada masing-masing bidang studi/mata pelajaran, di dalamnya terdiri atas: pokok bahasan/sub-pokok bahasan, alokasi waktu, dan alokasi pertemuan kapan pokok bahasan/sub-pokok bahasan tersebut disajikan.
    4. Persiapan mengajar merupakan istilah baru sebagai pengganti dari satuan pelajaran (satpel) pada kurikulum lama. Persiapan mengajar ini merupakan program pengajaran untuk jangka waktu belajar mingguan atau harian.
    5. Langkah-langkah pengembangan persiapan mengajar secara umum dapat dilakukan melalui: a) mempelajari Tujuan Pembelajaran yang ada dalam Silabus, b) menentukan materi/bahan pelajaran, c) menentukan kegiatan belajar-mengajar, d) menetapkan alat, media, dan sumber pelajaran, dan e) menentukan alat evaluasi.